بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

al Furqan 54

وَ هُوَ الَّذي خَلَقَ مِنَ الْماءِ بَشَراً فَجَعَلَهُ نَسَباً وَ صِهْراً وَ كانَ رَبُّكَ قَديراً


Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (mempunyai) keturunan dan mushâharah, dan adalah Tuhan-mu Maha Kuasa. - al Furqan 54

Tentang tafsir ayat ini, Ibnu Abbas berkata, "Allah menciptakan air mani berwarna putih, lalu meletakkannya di sulbi Adam. Setelah itu, ia dipindahkan ke sulbi Syaits, lalu ke sulbi Anusy, sulbi Qainan, dan terus berpindah dari sulbi orang-orang mulia ke rahim wanita-wanita suci sampai Allah menjadikan(nya) berada di sulbi Abdul Mutalib. Dia lalu membaginya menjadi dua, sebagian diletakkan di sulbi Abdullah dan yang lain di sulbi Abu Thalib. dari mereka, lahirlah Muhammad saw dan Ali. Makna 'mushaharah' adalah Fathimah binti Muhammad dan Muhammad adalah bagian dari Ali, hasan, dan Husin."

Jabir bin Ja'fi meriwayatkan dari Ikrimah, dari ibnu Abbas tentang penafsiran ayat ini, " Allah menciptakan Adam dan menciptakan mani, lalu Dia menitipkannya di sulbi orang-orang suci, hingga Ibrahim, kemudian sampai ke sulbi Abdul Muthalib. Allah lalu memecah cahaya itu menjadi dua, salah satunya diletakkan untuk Abdullah yang kemudian melahirkan Muhammad, dan yang lain untuk Abu Thalib, yang kemudian melahirkan Ali. Setelah itu, Allah mendekatkan keduanya dengan hubungan pernikahan, iaitu dengan cara menikahkan Fathimah dengan Ali."

*Bihar al-Anwar, jil. XXXV, hal. 360

Manusia Terbaik

Wahai Musa sesungguhnya Aku adalah Allah, Tuhan Semesta alam. (QS. al-Qashash: 30)





Rasul telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang mukmin. Semuanya telah beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan para rasul-Nya. (Mereka mengatakan), Kami tidak membeda-bedakan antara seorang pun (dengan yang lain) dari para rasul-Nya," dan mereka mengatakan, "Kami dengar dan kami taat. Dan (kami memohon) ampunan-Mu [Tuhan kami] kepada Engkaulah tempat kembali."



Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kelapangan (kesanggupan)-nya. baginya apa yang telah diusahakan, dan atasnya apa yang telah ia usahakan. (Mereka berdoa), "Tuhan kami! Janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau bersalah. Tuhan kami! Janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagai mana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelom kami. Tuhan kami! Janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami; lindungi kami; dan rahmatilah kami. Engkau penolong kami, maka menangkanlah kami atas kaum yang kafir."
(QS. al-Baqarah: 285-286)

Singa Allah

Rujukannya kepada Musa, ketika para penyihir dikirimkan untuk menentangnya dan mereka memperlihatkan sihir mereka dengan melemparkan tali dan tongkat ke tanah dan Musa merasa takut. Demikianlah, Al-Qur'an mencatat,

"... terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka. Maka Musa merasa takut dalam hatinya. Kami berkata: 'Janganlah kamu takut, sesungguhnya kamulah yang paling unggul." (QS. 20:66-68)

Dan Amirul Mukminin berkata bahwa alasan takutnya Musa ketika melihat tali dan tongkat bergerak itu bukanlah demi nyawanya sendiri; ia takut jangan sampai kaumnya terkesan oleh sihir itu lalu tersesat dan kebatilan beroleh kemenangan karena perbuatan sihir itu. Itulah sebabnya maka Musa tidak dihibur dengan mengatakan bahwa nyawanya aman, tetapi dengan mengatakan bahwa ia sebenarnya lebih unggul, dan dakwahnya akan terangkat. Karena ketakutannya adalah atas kekalahan yang hak dan kemenangan yang batil, bukan nyawanya sendiri, hiburan diberikan kepadanya untuk kemenangan yang hak, dan bukan untuk perlindungan terhadap nyawanya.
Amirul Mukminin memaksudkan bahwa la pun mempunyai ketakutan yang sama, yakni jangan sampai umat terperangkap dalam jebakan orang-orang ini (Thalhah, Zubair, dan sebagainya) dan tersesat dari jalan yang benar. la tak pernah mengkhuatirkan kehidupannya sendiri.

Kisah Surah

Surah al-Baqarah diturunkan pada tahun pertama Hijriah. Sebahagian besar ayatnya berisi teguran kepada orang-orang Yahudi yang menghalang-halangi kemajuan Islam, dan selebihnya menetapkan beberapa ketentuan hukum, seperti perubahan kiblat, kewajipan puasa, haji dan lain-lain. Surah al-Hasyr diturunkan khusus tentang pengusiran kaum Yahudi Bani Nadhir. Dan surah al-'Adiyaat diturunkan khusus tentang orang-orang Arab Wadi Yabis, atau yang lain.

Surah an-Nisa' membicarakan hukum-hukum perkahwinan dan penceraian, surah al-Anfal membicarakan harta rampasan perang dan tawanan perang, dan surah ath-Thalaq membicarakan hukum-hukum talak.

(MEMAHAMI ESENSI AL-QURAN)

Ibrahim AS Dan 3 Jawatan Pimpinan Ilahi

“Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu ia (berhasil) melengkapinya. Allah berfirman: “Sungguh aku akan menjadikanmu seorang imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim memohon: “ Juga dari keturunanku!”.
Allah berfirman: “Janjiku ini (imamah) tidak akan dapat digapai oleh orang-orang yang zalim”.

Dalam Tafsir Al-Mizan karya Allamah Thabathaba’i juz 1 hal. 273, diriwayatkan bahwa Imam Ja’far Ash-Shadiq as berkata : “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menerima Nabi Ibrahim as sebagai seorang hamba sebelum Dia mengangkatnya menjadi seorang mabi, mengangkatnya menjadi nabi sebelum Dia memilihnya menjadi rasul, mengangkatnya menjadi rasul sebelum Ia menjadikannya sebagai kekasih-Nya (Khalilullah), dan menjadikannya sebagai khalilullah sebelum mengangkatnya menjadi seorang imam. Dan setelah Allah menganugerahkan semua itu kepadanya, Dia berfirman: “Sungguh Aku telah mengangkatmu menjadi imam bagi seluruh manusia”. Karena imamah itu sangat agung baginya, maka beliau memohon kepada Allah: “Dan dari keturunanku juga!”. Kemudian Allah menjawab: “Janjiku ini (imamah) tidak akan dapat digapai oleh orang-orang yang zalim”. Selanjutnya Imam Ja’far berkata: “Orang yang bodoh tidak akan menjadi imam bagi orang yang bertakwa”.
Allamah Thabathaba’i mengatakan berdasarkan riwayat di atas, yang dimaksud dengan “Kalimat” dalam ayat ini adalah imamah Nabi Ibrahim as, Ishak dan keturunannya yang kemudian ia menyempurnakannya dengan imamah Muhammad SAWW dan para imam Ahlul Bayt as dari keturunan Nabi Ismail as Kemudian Allah memperjelas persoalan ini dengan firman-Nya: “Sungguh Aku akan menjadikan kamu imam bagi seluruh manusia.”
Hadis tersebut dan hadis-hadis lain yang memiliki kandungan yang sama dengan hadis di atas terdapat di dalam:

1.Al-Manāqib,karya Al-Maghazili Asy-Syafi’i, hal. 276.
2.Naqdhus Shawā’iq,karya Sayid Amir Muhammad Al-Khazhim, hal. 220.
3.Dalā`ilus Shidq,karya Al-Imam Al-Muzhaffar, hal. 140.
4.Al-Manāqib,karya Syahr-asyub, juz 2, hal. 263.
5.Tafsir Al-‘Ayyāsyi, tentang surat ini.
Dalam Ikmal al-Din terdapat sebuah hadits melalui Jabir al-Jufri yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah yang berkata: "Ya Rasulullah kami telah mengetahui Allah dan Rasul-Nya, lalu siapakah ulil amri yang Allah jadikan ketaatan kepada mereka sama dengan ketaatan kepadamu?" Lalu Nabi SAW bersabda: "Wahai Jabir, mereka adalah penerusku dan para pemimpin muslimin. Yang pertama dari mereka adalah 'Ali bin Abi Thalib, kemudian (Imam) Hasan dan (Imam) Husain, kemudian 'Ali bin Husain, kemudian Muhammad bin 'Ali, yang dikenal dalam taurat dengan nama al-Baqir, yang engkau akan jumpai kelak. Wahai jabir! Apabila engkau menjumpainya, sampaikanlah salamku padanya. Setelahnya adalah ash-Shadiq, Ja'far bin Muhammad; kemudian Musa bin Ja'far, kemudian 'Ali bin Musa, kemudian Muhammad bin 'Ali, kemudian 'Ali bin Muhammad, kemudian Hasan bin 'Ali, setelahnya adalah al-Qa'im yang nama asli dan gelarnya sama denganku. Dia adalah hujjah Allah di bumi dan pengingat hamba-hamba-Nya. Dia anak (Imam) Hasan bin 'Ali (al-'Askari). Pribadi inilah yang menyebabkan tangan Allah akan membukakan arah Timur dan Barat dunia dan pribadi ini jugalah yang akan digaibkan dari para pengikut dan pencintanya. karena inilah (kegaiban -penerj) keimamahannya tidak dapat dibuktikan oleh pernyataan siapapun kecuali oleh orang yang keimanannya telah Allah uji."Jabir berkata: "Aku bertanya padanya: 'Wahai Rasulullah! Apakah para pengikut (syi'ah)-nya akan mendapatkan manfaat dari kegaibannya?' Dia menjawab: 'Ya. Demi Zat yang mengutusku dengan kenabian, mereka akan mencari cahaya dan taat kepadanya pada masa gaibnya sebagaimana manusia mendapat manfaat dari (cahaya) matahari ketika awan menutupnya' ..."
(Ikmal al-Din, jilid 1, hal. 253, dengan makna yang hampir sama dalam Yanabi' al-Mawaddah, hal.117)

Benarkah Wahyu itu?

1. Tentang hal ini Allah swt. berfirman,” Allah tidak akan menampakkan hal ghaib kepada kalian, tetapi Ia memilih utusan-utusan-Nya dengan kehendak-Nya.“ (Qs. Ali Imran [3]:179).

Setelah terbukti perlunya wahyu sebagai sarana alternatif untuk memperoleh pengetahuan yang dibutuhkan manusia demi menutupi kekurangan-kekurangan indra dan akal mereka, ada masalah berikutnya yang perlu dibahas di sini. Yaitu, mengingat bahwa manusia biasa tidak mungkin dapat memanfaatkan sarana pengetahuan ini secara langsung dan tidak memiliki potensi untuk menerima wahyu Ilahi [1],oleh karena itu risalah Ilahiyah harus disampaikan kepada mereka melalui para nabi.

2. Dalam al-Qur’an disebutkan, "Allah lebih mengetahui kepada siapa Dia menyerahkan risalah-Nya." (Qs. Al-An`am [6] :124)

Pertanyaannya, Apakah yang menjamin keutuhan risalah ini? Bagaimana kita dapat mempercayai bahwa nabi telah menerima dan menyampaikan wahyu Ilahi kepada umat manusia secara utuh? Jika terdapat perantara antara Allah Swt dan nabi, yaitu Malaikat Jibril, lalu bagaimana kita bisa percaya bahwa Malaikat itu menyam-paikan risalah tersebut secara utuh pula?

Pertanyaan-pertanyaan di atas muncul karena wahyu itu hanya bisa berperan untuk menutupi berbagai kekurangan pengetahuan manusia apabila -semenjak diturunkan hingga disampaikannya kepada manusia- terjaga dari penyimpangan, kesamaran, secara sengaja ataupun tidak.


Bila tidak demikian, maka dengan adanya kemungkinan kelalaian dan kekhilafan pada satu atau sejumlah perantara, atau adanya perubahan yang disengaja dalam kandungan wahyu, akan timbul duga-an dalam benak manusia akan kemungkinan kecacatan dan kerancuan pada risalah yang sampai kepada mereka, dan akan menggoyahkan kepercayaan mereka terhadap risalah itu. Maka itu, dengan cara apakah kita dapat meyakini sampainya wahyu Ilahi kepada umat manusia secara utuh dan selamat dari penyelewengan dan kesalahan?

Jelas apabila hakikat wahyu itu tidak diketahui oleh manusia, dan mereka tidak memiliki potensi untuk menerima wahyu itu, maka mereka tidak mempunyai jalan untuk mengawasi dan meneliti kebenaran perantara-perantara itu. Mereka baru bisa memahami adanya kesalahan dalam wahyu bila ia mengandung isi yang bertentangan dengan hukum pasti akal.

Misalnya, apabila ada seseorang yang mengaku bahwa dia diberikan wahyu oleh Allah Swt. yang menyatakan bahwa dua hal yang kontradiksi itu mungkin atau pasti terjadi, atau ada seseorang yang mengaku (na’udzu billa) bahwa dzat Allah Swt itu tersusun, atau berbilang, atau hancur, atau hilang. Pada kondisi seperti ini, kita bisa membantah dan membuk-tikan kebatilan pengakuan tersebut melalui penilaian akal yang pasti (qat’i).


Akan tetapi, kebutuhan utama kepada wahyu itu terdapat pada masalah-masalah yang akal manusia tidak menemukan jalan untuk membuktikan atau menafi-kannya, juga tidak mampu menilai kebenaran atau kesalahan risalah tersebut. Dalam kondisi semacam ini, dengan jalan apakah kita dapat menetapkan kebenaran kandungan wahyu dan keterjagaannya dari pengaburan dan penyelewengan yang disengaja atau kelalaian para perantara, yaitu malaikat Jibril dan para nabi As?


Jawaban atas pertanyaan di atas ini ialah bahwa sebagai-mana halnya akal -dengan memperhatikan Hikmah Ilahiyah pada kajian 2 tentang masalah kenabian ini- mengetahui bahwa ada jalan lain untuk mengetahui hakikat dan cara hidup manusia, meskipun ia tidak mengetahui secara pasti hakikat jalan itu, dia juga memahami bahwa Hikmah Ilahiyah menuntut agar wahyu Allah terlindung dari penyimpangan hingga berada ke hadapan manusia tanpa terjadi pengaburan. Karena bila tidak demikian, akan terjadi pertentangan di dalam tujuan-Nya.


Dengan kata lain, setelah diketahui bahwa risalah Ilahi itu harus sampai kepada umat manusia melalui seorang atau beberapa perantara sehingga tercipta kondisi yang cukup untuk kesempurnaan umat manusia dan terealisasinya tujuan Ilahi dari penciptaan manusia terebut, maka -dengan mengacu pada sifat-sifat kesempurnaan Ilahi- akan dapat dibuktikan pula bahwa risalah itu harus terjaga utuh dari penyelewengan dan kekhilafan, yang disengaja ataupun tidak. Karena jika Allah Swt. tidak menghendaki sampainya risalah kepada umat manusia secara utuh, ini bertentangan dengan Hikmah Ilahi-yah, dan kehendak-Nya yang bijaksana pun menafikan asumsi ini.


Dan seandainya Allah Swt tidak mengetahui dengan apa atau melalui siapa risalah itu akan disampaikan secara utuh kepada hamba-hamba-Nya, ini bertentangan dengan ilmu-Nya yang tak terbatas.

Dan jika Dia tidak kuasa untuk memilih para pengemban wahyu yang layak dan melindungi mereka dari sentuhan tangan-tangan kotor dan setan-setan, ini tidak sesuai dengan kekuasaan-Nya yang tidak terbatas.

Maka, dengan bukti kemahatahuan Allah Swt, tidak ada alasan bagi kita untuk memberi kemungkinan bahwa Dia memilih pembawa wahyu yang tidak Dia ketahui ketulusan dan amanatnya [2].


3. “Allah Maha Mengetahui hal yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan hal gaib kepada siapapun. Kecuali kepada rasul yang Dia ridahi. Sesungguhnya Dia menciptakan para penjaga di depan dan belakangnya. Supaya Dia mengetahui bahwa rasul-rasul itu telah menyampaikan risalah Tuhan mereka. Allah mengetahui apa yang ada dalam mereka dan menghitung segala sesuatu.“ (Qs. al-Jin [72]: 26-27).

Dan dengan bukti kemahakuasaan Allah Swt, kita tidak mungkin menduga bahwa Allah tidak mampu menjaga wahyu-Nya dari campur tangan setan, orang-orang jahat, dan dari kelalaian dan kelupaan pada diri pembawa wahyu-Nya[3].

4. “Supaya orang binasa atau hidup dengan keterangan yang nyata“ (Qs. al-Anfal[8]: 42)

Dengan penjelasan rasional inilah kita dapat menetapkan terjaganya wahyu dari berbagai kecacatan. Penjelasan ini pula dapat membuktikan keterjagaan Malaikat Wahyu dan para nabi pada tahap menerima wahyu dan kemaksuman mereka dari pengkhianatan yang disengaja, atau dari kelalaian dan kelupaan pada tahap menyampaikan wahyu.


Dari uraian di atas jelaslah bagi kita sebab penekanan Al-Qur’an atas sifat amanat para pembawa wahyu dan para nabi serta kemampuan mereka untuk menjaga amanat Ilahiyah dan menolak berbagai pengaruh setan. Secara umum, tampak jelas apa yang telah kami singgung mengenai penegasan Al-Qur’an atas terpeliharanya wahyu dan para penjaga wahyu, sehingga wahyu tersebut sampai kepada umat manusia secara utuh.


Pembahasan Lain Ihwal Kemaksuman

Sesungguhnya kemaksuman (ishmah) pada malaikat dan para nabi yang telah kami buktikan berdasarkan argumen di atas, khusus pada tahap penerimaan wahyu dan penyam-paiannya. Namun ada tahap kemaksuman lain yang tidak dapat dibuktikan dengan argumen tersebut. Hal ini dapat dibagi kepada tiga bagian. Pertama, kemaksuman para malai-kat. Kedua, kemaksuman para nabi. Ketiga, kemaksuman sebagianorang seperti: para imam yang suci, atau seperti Fatimah As dan Maryam As.

Selain tentang kemaksuman para malaikat pada tahap penerimaan dan penyampaian wahyu, kita akan membahas dua persoalan. Pertama, kemaksuman Malaikat Wahyu di luar tugas sebagai penerima dan penyampai wahyu. Kedua, kemak-suman para malaikat selain Malaikat Wahyu, seperti malaikat-malaikat yang dipercaya untuk mengatur rizki, menulis amal manusia, mencabut ruh dan tugas-tugas yang lainnya.


Tentang kemaksuman para nabi yang tidak berhubungan dengan risalah mereka, kita akan membahas dua masalah. Pertama, kemaksuman para nabi dari dosa dan maksiat yang disengaja. Kedua, kemaksuman mereka dari kelalaian dan kelupaan. Dua masalah ini juga akan kita bahas sehubungan dengan orang-orang selain para nabi.


Adapun masalah-masalah yang berkaitan dengan para malaikat pada selain tahap penerimaan wahyu dan penyam-paiannya hanya dapat kita bahas dengan argumentasi akal apabila kita telah mengenal hakekat malaikat itu sendiri. Namun, mengenal hakekat dan esensi malaikat, selain tidak mudah, juga tidak sesuai dengan pembahasan di sini.


Oleh karena itu, kami hanya cukup menyebutkan dua ayat yang menunjukkan kemaksuman malaikat: “Mereka (para malailkat) adalah hamba-hamba yang mulia yang tidak mendahului-Nya dengan ucapan dan mereka melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya.” (Qs. Anbiya [21]: 27) “Sesungguhnya mereka (para malaikat) tidak bermaksiat kepada Allah terhadap apa yang diperintahkan kepada mereka dan mereka senantiasa melaksanakan apa yang diperintahkan. (Qs. At-Tahrim [66]: 6)


Adapun pembahasan kemaksuman sebagian individu selain para nabi, maka hal itu hanya sesuai dengan pembahasan kemaksuman. Maka itu, di sini kita hanya akan membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan kemaksuman para nabi secara khusus. Walaupun sebagian masalah tidak mungkin untuk dipecahkan melainkan dengan dalil-dalil wahyu. Dan masalah-masalah ini dapat dibahas setelah memastikan validitas Al-Qur’an dan Sunnah. Akan tetapi, demi menjaga konsistensi di antara tema-tema masalah tersebut, kita akan membahasnya pada bagian ini. Adapun validitas Al-Qur’an dan Sunnah, kita terima saja sebagai postulat yang akan kita bahas pada saatnya.

Kemaksuman para Nabi

Terdapat ikhtilaf di antara mazhab-mazhab Islam tentang sejauh mana kesucian para nabi dari dosa. Syi’ah Imamiyah percaya bahwa sejak dilahirkan hingga wafat, para nabi itu terjaga dari segala dosa dan maksiat, baik yang kecil atau yang besar, yang disengaja atau tidak. Ada yang berpendapat bahwa para nabi itu hanya terjaga dari dosa-dosa besar saja.


Ada madzhab yang meyakini para nabi itu terjaga dari dosa sejak masa akil balig. Sebagian yang lain mengatakan sejak masa kenabian. Sebagian dari Madzhab Ahlusunnah seperti Al-Khasyawiyah dan sebagian dari Ahlul Hadits mengingkari kemaksuman para nabi, sama sekali. Menurut mereka, mungkin saja para nabi melakukan dosa dengan sengaja, bahkan pada masa kenabian mereka sekalipun.


Sebelum kami membuktikan kemaksuman para Nabi, perlu kami jelaskan sebagian poin-poin penting berikut ini:


Pertama, maksud dari kemaksuman para nabi atau selain mereka, bukan sekedar tidak melakukan dosa. Karena bisa jadi seorang manusia biasa tidak melakukan maksiat sepan-jang usianya, khususnya apabila orang itu berusia pendek. Akan tetapi yang kita maksud dengan kemaksuman para nabi di sini, adalah adanyamalakah nafsaniyah (karakter inheren) yang kuat yang mencegah dia dari berbuat dosa dan maksiat, sekalipun dalam kondisi yang sulit. Malakah ini dicapai de-ngan pengetahuannya yang sempurna dan terus menerus terhadap keburukan perbuatan dosa, dan dengan kehendak serta keinginan yang kuat untuk mengen-dalikan hawa-nafsu. Karena malakah semacam ini tidak mungkin dapat terwujud kecuali dengan bantuan dan inayahAllah Swt secara khusus, maka pelakunya diidentikkan dengan-Nya.


Kemaksuman me-reka bukan berarti bahwa Allah memaksa mereka untuk meninggalkan dosa dan mencabut kebebasan kehendak dan usaha mereka. Kemaksuman sebagian manusia sempurna seperti para nabi dan imam juga bisa dinisbahkan kepada Allah dengan makna yang lain, yaitu bahwa Dialah yang menjamin kemaksuman mereka.


Kedua, kemaksuman seseorang itu menuntutnya untuk meninggalkan berbagai perbuatan yang dilarang atasnya, seperti perbuatan maksiat yang diharamkan di dalam seluruh syariat dan perbuatan yang dilarang dalam syariat yang ia ikuti. Dengan demikian tidak terdapat kontradiksi antara kemaksuman para nabi dengan mengamalkan sebagian perbuatan yang dibolehkan dalam syariatnya untuk pribadi mereka secara khusus, sekali pun itu diharamkan dalam syariat-syariat yang sebelumnya atau akan diharamkan pada ajaran yang akan datang.


Ketiga, maksud dari maksiat yang seorang maksum itu tersucikan darinya ialah perbuatan yang “haram” dalam istilah Fiqih, atau meninggalkan perbuatan yang “wajib” menurut istilah Fiqih. Adapun kata maksiat dan semacamnya, yaitu adz-dzanbu (dosa), terkadang digunakan untuk hal-hal yang lebih luas daripada makna maksiat dan dosa, seperti bisa juga digunakan untuk mengartikan tarkul aula (meninggalkan yang lebih utama). Meninggalkan yang lebih utama tidaklah mena-fikan kemaksuman dari diri mereka.[]

Allah SWT memungkiri janji?

Seseorang datang menemui Imam Jafar as Shadiq dan berkata, “Aku telah mengamalkan dua perkara berdasarkan dua ayat yang terdapat di dalam Al-Quran, akan tetapi aku tidak mendapat hasilnya !”

Imam Jafar As-Shadiq bertanya, “Dua ayat yang mana?”

Orang tersebut menjawab, “Ayat pertama berbunyi, ‘Berdoalah kepadaku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.’ (QS: Al-Mukmin:60). Dan ayat kedua berbunyi, ‘Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya, dan Dia lah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya’. (QS. As-Saba’:39). Aku berdoa, tapi tidak dikabulkan. Dan aku telah mengeluarkan infak, tapi aku tidak melihat gantinya !”.

Imam Jafar Ash-shadiq berujar, ”Apa engkau berfikir Allah swt akan mengingkari janji-Nya ?”

Orangtersebut menjawab, ”Tidak”

Kemudian Imam Jafar melanjutkan pertanyaannya dan berkata, ”Lantas, apa yang menyebabkan doamu tidak terkabul ?”.

Orang tersebut menjawab, ”Aku tidak tahu”

Imam Jafar berkata,”Aku akan memberi tahukannya kepadamu. Allah swt ketika memerintahkan seseorang untuk berdoa dan orang tersebut menaati perintah-Nya serta menjaga sisi-sisi doa, maka doanya akan terkabulkan.”

Orang tersebut bertanya, ”Apakah sisi-sisi dan syarat-syaratnya?”

Imam berkata, ”Pertama-tama, hendaklah engkau memuja dan memuji Allah swt serta mengingat segala nikmat-Nya. Kemudian, bersyukurlah. Selanjutnya bershalawatlah kepada Rasulullah SAW. Lalu, ingatlah segala dosamu dan berjanjilah kepada Allah untuk meminta perlindungan dan berpaling kepada Allah dari dosa-dosa tersebut.Adapun berkenaan dengan ayat kedua, apakah engkau berfikir bahwa Allah swt akan mengingkari janji-Nya?”

Orang tersebut berkata, ”Tidak”.

Kemudian Imam mengatakan, ”Lantas, mengapa infakmu belum atau tidak diganti (oleh-Nya)?”

Orang tersebut berkata, ”Aku tidak tahu”

Imam menuturkan, ”Jika seseorang di antara kalian memperoleh harta dengan cara yang halal dan menginfakkannya di jalan yang halal pula, maka tidak ada sepeser dirham pun yang ia keluarkan kecuali Allah swt akan menggantinya.”

Renungan Hamba Allah

Al-Quran mengajak bertafakur (memikirkan dan merenungkan) terhadap tanda-tanda kekuasaan Allah di langit, bintang2 yg bercahaya, susunannya yang menakjubkan, dan peredarannya yang tidak pernah berubah.

Al-Quran juga mengajak untuk memikirkan kejadian bumi, lautan, gunung-ganang dan lembah-lembah, keajaiban-keajaiban yang ada di perut bumi, pergantian malam dan siang, serta perubahan musim-musim dalam setahun.

Al-Quran juga mengajak untuk memikirkan keajaiban2 penciptaan tumbuh-tumbuhan, binatang2, sistem perkemabangannya dan keadaan-keadaan linkungannya.

Al-Quran juga mengajak untuk memikirkan penciptaan manusia sendiri dan rahasia2 yang terdapar di dalam dirinya. Bahkan ia pun mengajak untuk memikirkan jiwa dan rahasia2 batinnya serta hubungannya dengan alam malakut. Ia juga mengajak untuk melakukan perjalanan ke seluruh pelosok dunia sambil memikirkan peninggalan2 orang2 dahulu kala, menyelidiki dan meneliti keadaan2 bangsa2, kelompok2 manusia, serta kisah2, sejarah2, dan pelajaran2 mereka.

Secara khusus, Al-Quran mengajak untuk mempelajari ilmu alam, matematika, filsafat, sastra, dan semua ilmu pengetahuan yang dapat dicapai oleh pemikiran manusia. Anjuran Al-Quran utk mempelajari ilmu2 itu adalah utk kesjahteraan dan kebahagiaan umat manusia.

Memang Al-Quran menyeru utk mempelajari ilmu2 ini sebagai jalan untuk mengetahui kebenaran dan realitas, dan sebagai cermin untuk mengetahui alam, yang di dalamnya pengetahuan tentang Allah mempunyai kedudukan paling utama.Adapon ilmu yg membuat manusia lupa akan kebenaran dan realitas itu, menurut Al-Quran itu sama dengan kebodohan. Allah Ta'ala berfirman:

Mereka hanya mengetahui yang lahir saja dari kehidupan dunia, sedang terhadap kehidupan akhirat, mereka lalai.(QS. 30: 7)

Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya, dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah membiarkannya sesat?(QS. 45: 23)

Al-Quran yang mendorong manusia agar mempelajari berbagai ilmu, mengajarkan suatu konsep yang utuh tentang ilmu ketuhanan, prinsip2 umum akhlak, dan hukum Islam.

'Aliyun Waliyyullah 'Aliyun Hujjatullah

Diriwayatkan dari Ibn Abbas, dia berkata,"Saat Allah Ta'ala menciptakan Adam dan meniupkan roh-Nya, Adam bersin, maka Allah mengilhamkan kepadanya (ucapan), 'Alhamdu lillahi Rabbil 'alamin (Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam),' dan Allah mengucapkan, 'Yarhamuka Rabbuka (Semoga Tuhanmu merahmatimu).' Ketika Allah memerintahkan para malaikat-Nya untuk bersujud kepada Adam, timbullah ujub di dalam hatinya, lalu dia berkata, 'Wahai Tuhanku, adakah Engkau ciptakan makhluk yang lebih Engkau cintai daripadaku?' Adam bertanya terus sampai tiga kali tetapi Allah tidak menjawab. Kemudian Allah 'Azza wa jalla berfirman, 'Ya, sekiranya bukan karena mereka, niscaya Aku tidak akan menciptakanmu."'

Adam berkata, 'Kalau begitu, perlihatkanlah mereka itu kepadaku.' Maka Allah mewahyukan kepada para malaikat agar mengangkat tirai hijab. Ketika hijab itu diangkat, seketika Adam melihat lima sosok di hadapan Arsy. Adam as bertanya, 'Wahai Adam, ini adalah Muhammad Sang Nabi; ini adalah Ali Amirul Mu'minin anak paman Nabi-Ku dan washiy-nya; ini adalah Fatimah putri Nabi-Ku; sedang mereka berdua ini adalah al-Hasan, al-Husain kedua putra Ali dari putra Nabi-Ku (Fatimah).' Kemudian Allah berfirman, 'Wahai Adam, mereka adalah anak keturunanmu.' Maka Adam bergembira dengan hal itu.

Maka kemudian setelah Adam melakukan dosa, dia berdoa, 'Wahai Tuhanku, Aku memohon kepada-Mu dengan (perantaraan) Muhammad, Ali, Fatimah, al-Hassan, dan al-Husain ampinilah daku,' Allah pon mengampuninya dengan (tawassul) ini. Itulah yang disebutkan dalam firman Allah 'Azza Wa Jalla: Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima tobatnya (QS. al-Baqarah: 37). Setelah Adam turun ke bumi, dia membuat cincin dan mengukir padanya: 'Muhammad Rasulullah wa 'Aliyyun Amirul Mu'minin'. Akhirnya Adam diberi gelar dengan Abu Muhammad."
[65]

[65] Bihar al-Anwar, jil. 11, hal. 175.

Simpulan Asas

"Menurut Abul Hasan Al-Asy'ari, Allah mengetahui melalui (sifat) tahu, Kuasa melalui kegiatan, berbicara melalui bicara, mendengar melalui pendengaran, dan melihat melalui penglihatan."


Apabila kita memandang sifat-sifat berbeda dan Diri-Nya secara ini, maka akan ada dua alternatif: sifat-sifat itu sudah ada pada-Nya sejak semula atau sifat-sifat itu terjadi kemudian. Apabila sifat-sifat itu sudah ada pada-Nya sejak semula, kita terpaksa mengakui objek-objek itu kekal sejauh sifat-sifat itu, yang semuanya bersaham dengan-Nya dalam kekekalan, tetapi "Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutuan". (QS. 9:31) Apabila kita menganggap bahwa sifat-sifat itu baru terjadi kemudian maka, di samping menundukkan-Nya pada perubahan-perubahan itu, akan berarti pula bahwa sebelum mendapatkan sifat-sifat itu la tidak tahu, tidak kuasa, tidak mendengar, dan tidak melihat, dan ini bertentangan dengan ajaran Islam yang mendasar.

Amanat Yang Sama

Kami Tawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung, tetapi mereka enggan mengembannya. Namun, manusia bersedia mengembannya. Sesungguhnya dia adalah makhluk yang zalim dan bodoh. (al-Ahzab: 72)

Muhammad bin Yahya, dari Muhammad bin Husain, dari Hakam bin Miskin, dari Ishaq bin Ammar, dari seseorang, dari Abu Abdillah, sekaitan dengan dengan ayat di atas,Beliau berkata,

"Amanat itu adalah 'wilayah' Amirul Mukminin."

"Amanat itu adalah 'wilayah' Amirul Mukminin." Maksudnya adalah bahwa Allah menawarkan amanat (berupa) 'wilayah' Ali kepada langit, bumi, dan gunung setelah Dia menciptakan pemahaman dan ikhtiar dalam diri mereka. Atau, Allah menawarkannya kepada penghuni tempat-tempat itu, seperti malaikat, hewan, dan manusia. Namun, mereka menolak untuk menerimanya dan hanya manusia saja yang bersedia mengembannya, iaitu Si Pertama. Sesungguhnya dia telah berlaku zalim kepada diri dan pengikutnya serta tidak mengetahui akibat dan kekejian pengkhianatannya.Ucapan Fadhil Astarabadi jga mengacu pada hal ini ketika berkata,

"Mereka enggan mengklaim amanat itu bagi diri mereka dan tidak mau merampas itu dari pemiliknya. Namun, orang pertama bersedia mengembannya. Sungguh, dia adalah makhluk yang zalim dan bodoh."

Hampir sama dengan ini adalah pendapat Ali bin Ibrahim ketika menafsirkan makna amanat. Dia berkata,"Amanat itu adalah 'imamah', perintah, dan larangan.Dalil bahwa amanat adalah 'imamah' adalah firman Allah:

Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanat kepada para pemiliknya.(al-Nisa': 58)

Sedangkan yang masyhur di kalangan 'mufassirin' adalah bahwa makna amanat adalah 'taklif' secara mutlak. Langit, bumi, dan gunung enggan mengembannya, karena khawatir tidak dapat melakukannya dan (beroleh) hukuman Allah.

SOLLUA'LA MUHAMMAD WA AALI MUHAMMAD!

Allamah M.H. Thaba'thaba'i

Tafsir Al-Mizan


Biografi Allamah Thaba’thabai

Sosok kita yang satu ini adalah seorang mufasir dan filsuf besar. Diantara karya qurani beliau yang paling berharga adalah Tafsir Al-Mizan, yang menjadi salah satu rujukan tafsir kontemporer paling populer. Kitab tafsir ini merupakan salah satu kitab paling komplit dari sisi metode dan muatan. Berikut biografi mufasir besar ini yang ditulis langsung oleh beliau pada awal-awal tahun 1341 Hijriah Syamsiah.
Saya, Muhammad Husain Thaba’thabai, lahir di kota Tabriz pada tahun 1281 H. Sy, di tengah-tengah keluarga pecinta ilmu. Pada usia lima tahun saya ditinggal oleh ibunda tercinta dan tiga tahun setelahnya saya menjadi yatim piatu, karena ditinggal ayah. Mengingat keluarga kami termasuk keluarga yang mampu, kondisi kehidupan kami tetap berjalan dan dengan bantuan seorang wakil (pengasuh) beserta istrinya yang telah ditunjuk oleh ayah, kami meneruskan roda kehidupan yang mesti dilakoni.
Tak lama setelah kepergian ayah, saya dikirim ke sebuah madrasah dan akhirnya saya digembleng oleh sorang guru privat yang selalu datang ke rumah. Dan begitulah, tanpa terasa enam tahun saya mempelajari bahasa Persia dan pelajaran-pelajaran dasar. Pada waktu itu, pelajaran-pelajaan dasar belum memiliki program dan kurikulum khusus dan tetap. Yang saya ingat dari tahun 1290-1296 H. Sy. pelajaran yang paling banyak saya terima adalah Al-Quran, kitab Gulistan, Bustan Sa’di, Nishab, Akhlak Mushawar, Anwar Sahili, Tarikh Mu’jam dan Irsyadul Hisab.
Pada tahun 1297 H. Sy saya mulai memasuki pelajaran agama dan bahasa Arab. Hingga tahun 1304 H. Sy saya sibuk membaca teks-teks pelajaran. Dalam kurun waktu tujuh tahun inilah, saya menamatkan kitab-kitab berikut ini: Amtsilah, Sharf Mir, Tashrif, ‘Awamil dalam Ilmu Nahwu, Anmudaj, Shamadiyah, Suyuthi, Jami dan Mugni tentang penjelasan kitab Muthawal, dalam Fiqih; Syarh Lum’ah, Makasib, dalam Ushul, kitab Ma’alim, Qawanin, Rasail, Kifayah, dalam ilmu Logika; Hasyiah dan Syarh Syamsiyah, dalam filsafat Kitab Syarh Isyarat, dalam teologi kitab Kasyful Murad.
Pada tahun 1304 saya pergi ke Hauzah Najaf untuk meneruskan pelajaran. Di sana saya menghadiri pelajaran Marhum Ayatollah Syekh Muhammad Husain Isfahani. Sekitar 6 tahun pelajaran Ijtihad Ushul dan empat tahun pelajaran kharij Fiqih saya lewati. Begitu juga saya hadir pelajaran kharij fiqih Marhum Ayatollah Naini selama delapan tahun dan sekali menamatkan pelajaran kharij fiqih beliau, serta sedikit hadir dalam pelajaran kharij fiqih Marhum Ayatollah Sayid Abul Hasan Isfahani.
Universalia tentang ilmu Rijal saya terima dari Ayatollah Hujjat Kuh Kamari. Dalam filsafat saya juga mendapat taufik untuk belajar dari seorang filsuf besar saat itu, Sayid Husain Badkubi. Di bawah arahan beliau, dalam waktu enam tahun saya dapat menyelesaikan pelajaran seperti, Mandhumah Sabzawari, Asfar, Masyair Mullah Shadra, Syifa, Tamhid Ibn Turkah dan AkhlakIbn Maskawaih.
Al-Marhum Ustadz Badkubi saking perhatiannya terhadap perkembangan intelektualitas saya, senantiasa menganjurkan kepada saya untuk mempelajari matematika guna memperkuat sistem pemikiran argumentatif dan untuk menguatkan analisa filosofis. Dalam rangka menjalankan petuah beliau akhirnya saya menghadiri pelajaran Sayid Abul Qasim Khansari, ahli matematika yang amat terkenal waktu itu dan saya mulai mempelajari perhitungan argumentatif.
Pada tahun 1314 H. Sy karena kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan, terpaksa saya kembali ke kampung halaman, kota Tabriz. Sekitar 10 tahun saya di sana. Tanpa basa basi lagi, masa ini merupakan masa yang sangat merugikan jiwa dan mental saya, karena untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan, saya terpaksa terjun ke dunia pertanian dan meninggalkan tadris dan pemikiran ilmiah yang begitu saya gandrungi.
Pada tahun 1325 H. Sy saya mengesampingkan masalah kehidupan dan kampung halaman dan menuju Hauzah ilmiah Qom. Di kota inilah saya kembali menggeluti pembahasan ilmiah dan hingga sekarang tahun 1341 H. Sy saya meneruskan aktivitas ini. Hanya saja perlu dipahami setiap orang dalam kehidupannya pasti menghadapi manis - pahitnya kehidupan. Saya juga demikian, kehidupan saya diwarnai dengan keyatiman, keterasingan, berpisah dari teman, kekurangan isi saku dan problem-problem lain. Alhasil saya telah menghadapi pasang surutnya kehidupan, dan merasakan berbagai nuansa kehidupan. Akan tetapi saya selalu merasakan ada tangan gaib yang selalu menyelamatkan saya dari gang buntu dan membawa saya kepada cahaya hidayah.
Pada awal-awal pendidikan, saya sibuk dengan pelajaran tata bahasa Arab, Nahwudan Sharaf. Saya tidak memiliki keinginan yang besar untuk melanjutkan pelajaran seperti ini. Oleh karena itu, dengan minat yang minim, saya selalu kesulitan dalam memahami pelajaran yang saya terima. Saya masih ingat empat tahun pelajaran (tata bahasa) itu saya tempuh.
Kemudian pada akhirnya tanpa terasa dan saya sadari, inayah Allah datang dan merubah segalanya. Saya merasa tak kenal lelah dari awal belajar hingga akhir – yang kurang lebih memakan waktu 17 tahun-. Saya juga lupa akan indahnya dunia yang membuat belajar menjadi kurang nikmat dan bersemangat. Saya merasa cukup dengan hal yang sangat sederhana dalam makanan, pakaian dan atribut materi lainnya. Lebih dari itu, saya curahkan semuanya untuk mutala’ah. Sering kali saya belajar semalam suntuk hingga pajar menyingsing (khususnya pada musim panas) dan senantiasa membaca pelajaran yang akan saya pelajari esok harinya, dan jika ada isykalan dengan segala cara saya tuntaskan sendiri. Rasanya tidak pernah saya hadir ke kelas dengan membawa iskalan dan pertanyaan.
Beberapa karya yang saya tulis saat belajar di kota Najaf adalah, Risalah dar Burhan,Risalah dar Mughalathoh, Risalah dar Tahlil, Risalah dar Tarkib, Risalah dar I’tibariyat.Sedang karya-karya saya sewaktu berada di kota Tabriz adalah sebagai berikut; Risalah dar Itsbate dzat, Risalah dar Asma’ wa Sifat, Risalah dar Af’al, Risalah dar Wasaith Khudo wa Insan, Risalah Insan qablaz Dunya, Risalah Insan Fi Dunya, Risalah dar Wilayat dan Risalah dar Nubuwa. Semua risalah-risalah ini berisikan dalil-dalil logis dan tekstual.
Sedangkan hasil karya saya di kota suci Qom adalah Tafsir Mizan yang terbit dalam 20 jilid. Dalam kitab ini saya berusaha menafsirkan Al-Quran dengan metode yang belum pernah digunakan oleh mufasir sebelumnya yaitu metode menafsirkan al-Quran dengan al-Quran, ayat dengan ayat-ayat yang lain. Karya lain saya di kota ini adalah Usul Falsafah (Rawesy realisme), dalam buku ini saya membahas dan membandingkan filsafat barat dan timur, kemudian Hasyiah Kifayatul Usul, Hasyiahterhadap kitab Mulla Shadra yang dicetak dalam 9 jilid. Risalah wilayah dan pemerintahan Islam. Di samping itu, dialog pada tahun 1338 h.sy dengan Profesor Karben, orientalis dari Prancis. Risalah dar I’jaz, Ali wa falsafah Ilahiah, Syi’ah dar Islam, Quran dar Islam, Kumpulan makalah, tanya jawab, pembahasan ilmiah dan filosofis yang beragam, dan terakhir Sunan Nabi. [Era Al-Quran]